Senin, 31 Desember 2012

cerpen (Impian dan Kebahagiaan)




   Malam itu aku dan kedua orang tuaku duduk di ruang keluarga, tv yang bertayangkan film kesukaanku yang menemani kami. Aku barusaja lulus sma, dan berniat untuk melanjutkan keperguruan tinggi yang aku sukai. Malam itu aku dan kedua orang tuaku membicarakan hal itu. “nak, papa punya rencana untuk kamu” papa memulai pembicaraan tentang kuliah untuk aku. Aku mulai mengecilkan volime tv agar apa yang ingin dikataan papa lebih mudah didengar. “rencana apa maksut papa?” aku tidak mengerti apa maksud yang dibicarakan papa. “rencana kuliah untukmu, papa sudah memilih universitas diluar negri untukmu yaitu jurusan kedoktern, kamu setujukan dengan pilihan papa. Papa yakin kampusnya tidak akan bikin kamu bosen malah akan membuat kamu betah, karena papa udah lihat kampusnya. Bagus banget lo nak”.papa sangat bersemangat menceritakan kampus piliahan dia tersebut. “tapi pa, aku sudah ada pilihan dan keinginan sendiri. Aku mau kuliah di Indonesia aja, disini gak kalah keren kok pa jadi untuk apa kulia jauh-jauh. Hmmm, aku mau ngambil jurusan sastra aja pa.” Aku mulaimenceritakan keinginanku untuk menjadi penulis novel yang handal dan penyair yang sukses. “apa, gak papa gak akan mengizinkan kamu kuliah dibidang sastra. Apa yang kamu harapkan dalam bidang itu, papa akan tetap dengan keinginan papa. Kamu tetap harus kuliah diluar negri dan ambil jurusan kedokteran.” Papa mulai marah dan terlihar tidak menstujui keinginanku menjadi seorang sastrawan. 
     Setelah kemarahan terebut papa beranjak dari tempat duduknya dan menuju kamar dalam keadaan marah dengan keinginanku. Aku hanya terdiam dengan keputusan papa, dan mama pun hanya diam mengikuti langkah papa mama pun beranjak dari tempat duduk untuk menuju kamar.
   Papa adalah orang yang sangat keras kepala semua keinginannya harus diikuti anank-anaknya termasuk dalam urusan sekolah. Mama hanya bisa mengikuti keinginan papa tanpa pernah memprotes ucapan papa. Setelah kejadian yang dulu terjadi pada kakakku yang juga dipaksa untuk mengikuti keinginan mereka untuk masuk jurusan kedokteran, yang mengakibatkan kakak harus masuk rumah sakit jiwa karena kakak tak pernah mau masuk kedokteran. Papa dana mama sekrang memaksa aku lagi untuk menggantikan kakakku yang gagal menjadi seorang dokter yang seperti papa inginkan.
   Kakakku bernama radit, dia sekarang masuk rumah sakit jiwa.mungkin penyebnya terlalu setres dengan tekanan papa yang menginginkan dia untuk masuk kedokteran sedangkan dia ingin sekali menjadi seorang atlit. Waktu sma ia pernah menjadi juara nasional bulutangkis, tapi sayang semua keinginanya harus terkubur karena opsesi papa yang terlalu tinggi.  Sekarang beban itu papa lanjutkan kepada aku. Aku tak tahu harus berbuat apa, aku tahu papa tak akan pernah mengizinkan ku untuk menjadi sastrawan.
Hampir satu minggu akau tidak berbicara kepada papa dan mama setelah malam itu. Aku tak pernah keluarkamar dan makan bersama mereka. Aku benar-benar kecewa dengan keputusan papa yang selalu berangapan kalau seorang doter itu pasti dihormati orang karena jabatanya.
  Tuk,tuk,tuk, mama mengetuk pintu kamarku. “veny, ayo nak kita makan sudah satu miinggu kamu tidak makan bersama mama dan papa. Mama kesepian nak, mama mau ditemani makan dan pergi kepasar sama kamu. Ayo nak keluar dong, mama udah masak makanan kesukaan kamu tu “. Mama mencoba membujuk aku. Dirumah hanya ada kami bertiga saja karena papa dan mama hanya memiliki 2 orang anak saja yaitu aku dan kakakku yang sekarang ada dirumah sakit jiwa. Aku hanya diam tanpa berbicara apa pun. Mama kemudian perrgi meninggalkan kamarku dan berjalan menuju ruang makan dan disana ada papa yang sudah menunggu untuk makan.
  '’pa, gimana ni veny tak mau keluar kamar dan makan bareng kita lagi, dia sepertinya benar-benar marah dengan papa” mama mencoba berkata kepada papa tentang keadanku dengan tangan mengambilkan nasi untuk papa. “ sudahlah ma, nanti juga dia tahu kalok niat kita baik”. papa menjawab dengan tangan mengambil nasi dari tangan mama. “ tapi pa,”. Mama mencoba berkata lagi, tapi, papa tetap dengan sikapnya yang keras kepala. “ ma, papa udah bilang semua keputusan papa tidak akan bisa dirubah lagi, mengerti”. Papa mulai marah. Mama hanya bisa diam karena jika dilanjutkan papa akan semangkin marah lagi.
Siang itu untuk kesekian kalinya mama menemui kamarku dan membujuk akau untuk menuruti keinginan papa. Aku tetap dengan sikapku yang keras kepala pula, karena aku benra-benar tak mau menjadi seorang dokter. Selai keinginanku menjadi seorang penulis yang handal, aku juga taku dengan yang namanya darah. Sedangkan seorang dokter akan selalu berhubungan dengan darah. “nak, papa dan mama melakukan ini semua untuk kebaikan kamu juga, tak ada orang tua yang mau melihat anaknya sengsara nak. Veny sayang mama selama ini tak pernah melarang dan memintak kepadamu, untuk kali ini mama mohon kamuikuti kemauan papamu nak.’’ Mama terus berusaha membujuk aku, tapi tak satu patah kata pun yang keluar dari mulutku.
  Pada akhirnya kesabaran mama pun hilang. “ baik nak, sekarang terserah kamu mama sudah tak tahu harus bebrbicara apa lagi sama kamu. Sekarang lakkan apa yang mau kamu lakukan. Tapi satuhal yang harus kamu tahu jangan pernah menyesal dengan tindakan kamu dan kamu harus buktika kepada mama dan papa kalau kamu bisa menjadi orang yang sukses”. Setelah berbicara mama beranjak dari pintu kamarku.
Semenjak hari itu hatiku tak tenang, aku berfikir. Apa semua keinginanku akan terpenuhi tanpa restu yang tulus dari orang tua terutama mama. Sedangkan akau tahu restu orang tua itu adalah restu allah juga. Jika aku nekat untuk melanjutkan keinginanku menjadi seorang sastra atau penulis aku yakin aku akan mendapatkan kesulitan yang besar dan ak taku akan mengecewakan kedua orang tuaku nanti. Sepanjang malam aku merenung apa yang harus aku lakukan dengan ini semua.
  Dua hari setelah ucapan mama keluar dari mulitnya , aku mencoba berbicara pada papa dan mama. Malam itu aku memutuskan untuk mengikuti kemauan papa dan mama untuk kuliah luar negri dan ngambil jurusan kedokteran yang seperti papa inginkan. “ma, pa baik lah veny mau kuliah di luar negri dan ngambil jurusan kedokteran”. Meski pun sulit itu harus aku lakukan. “beneran nak, baik lah papa akan urusin semua keperluanmu yanak. Kamu tenang aja pasti semunya beres”. Papa terliahat begitu gembira, seperti dulu ketika kakak mensetujui keinginanya untuk masuk kedokteran juga. Meski pun aku tahu kakak tak pernah setuju. Aku hanya terdiam dan menangis dalam hati dengan keputusan papa.
  Akhirnya oroientasi mahasiswa baru dilaksanakan. Aku resmi menjadi mahasiswa baru di salah satu unversitas terkenal di singapur. Hari demi hari aku laksanakan menjadi mahasiswa kedoteran, aku tetap belajar menjadi mahasiswa yang terbaik dikampus itu. Aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Satu semester telah berlalu, aku seperti seorang robot yang tanpa tujuan hidup yang hanya berusaha membahagiakan orang lain tanpa memperhatikan kebahgianku sendiri.
  “Veny, hari ini ada  acara seminar tu”. ben mahasiswa baru juga sahabtku yang aku kenal waktu ospek dulu. Dia orangnya baik dan dewasa banget, dia orang satu-satunya yang pertama kali akau kenal di kampus.” seminar apan ben.?” Aku penasaran dengan info yang diberikan ben kepadaku.
“ seminar kebahagiaan hati, loe mau ikut gak.?”
“hmmm,, ya udah gue ikut deh, lagian gue juga gak ada acara hari ini. Oya kapan acaranya”
“sekarng  juga yuk”. Ben menarik tanganku untuk menuju seminar itu.
Seminar yang bertemakan kebahagian hati itu berjalan sekitar satu jam lebih, seminar yang diadakan kakak tingkatan kami itu sangat menarik sekali. Ada beberapa setetmen narasumber yang teringat dalam benak saya, yang memebuat saya berfikir tentang kebahagiaan yang sesungguhnya.
“veny, loe kenapa. Kok melamun, ada yang loe fikirkan ya..?” Ben bertanya kepadaku setelah acara seminar itu selesai.
“Ben, loe masih inget gak yang dikatakan pak Herni tadik.” Aku mencoba mengingatkan Ben tentang kata-kata narasumber seminar.
“Kata-kata yang mana ven,.?’’ Sepertinya Ben belum tahu kata-kata yang mana yang aku maksut.
“kalau kebahagiaan yang sesungguhnya itu bukan dinilai dari uang, tapi, dari rasa bersyukur akan apa yang kita miliki hari ini.” Aku mencoba menjelaskan kepada Ben.
“Ben,gue mau cerita sama loe.” Aku ingin bercerita dengan Ben tentang keinginanku untuk masuk sastra dan menjadi seorang penulis yang handal.
“cerita aja gue siap denger kok.”
  Aku mulai menceritakan kejadian yang terjadi selama ini. Kejadian yang pertama sehingga aku masuk jurusan kedokteran. Dan semua konflik yang terjadi di keluarga gue bahkan tentang kakakku. Ben begitu sabar mendengar ceritaku, dia benar-benar sahabat yang baik.
“jadi menurut loe gue harus gimana Ben..?” setelah selesai bercerita panjang lebar aku bertanya kepada Ben tentang apa yang harus kulakukan.
“ menurut gue lebih baik loe ngomong dengan kedua orang tua loe, tentang keinginana loe. Ngomong dengan baik-baik dari hati kehati ven, kasih pengertian kepada mereka akan keinginan loe. Merekakan orang tua loe pasti mereka bisa mengerti apa keinginan loe yang sebenarnya.” Ben mencoba memberi nasehat ke aku tentang apa yang harusku lakukan.
Setelah mendengar nasehat dari Ben aku mulai berfikir tentang perkataan Ben tersebut. Dan aku berencana untuk berbicara pada papa dan mama. Besok harinya aku mencoba bercerita pada papa dan mama diruang keluarga seperti biasa.
“pa,ma veny mau cerita.” Aku mencoba memulai pembicaraan.
  ‘’cerita apa ven, oya ven. Papa senang banget kamu mendapatkan nilai yang baik, papa yakin semua rumah sakit terbaik di jakarta akan mencarimu untuk bekerja di tempat mereka. Dan kamu pasti akan dihormati orang lain, papa dan mama juga dong.” Papa mulai lagi dengan opsesinya.
  “pa, aku mau berhenti kuliah di bidang kedokteran, aku mau kuliah disastra. Aku gak betah pa, itu bukan duniaku. Aku kuliah hanya mendapkan nilai yang bagus, tapi aku gak tau apa tujuan dan peroses yang aku dapatkan dari kuliah tersebut.’’ Aku mulai menceritakan keinginanku.
  “Veny papa udah bilang apa yang kamu harapkan menjadi seorang sastra, kamu pasti tidak akan bahagia ven. Lupakan mimipimu itu jadi lah seorang dokter ven, percaya sama papa kamu pasti bahagia.” Papa tetap dengan ambisinya.
  ‘’pa, ma, kebahagian itu bukan dinilai dari uang, dari jabatan dan seberapa banyak orang menghormati kita. Atapi kebahagiaan itu akan lebih sempurna karena rasa syukur akan nikmat yang tuhan berikan kepada kita. Tak semua kebahagiaan itu dinilai karena harta pa, aku selama ini tidak pernah bahagia dengan apa yang aku lakukan di bidang kedokteran. Papa harus tahu itu pa, coba mengerti anak papa. Pa, papa lihat kakak, sekarang apa yang terjadi kepada dia di gila pa. Semua itu karena papa, kakak gila karena ambisi papa. Kenapa pa harus anak papa yang menjadi korbaan ambisi papa yang ingin dihormati orang.” Aku tak bisa lagi menahan kata-kataku, air mata mengiringi ucapanku.
  Setelah kejadian malam itu aku, esok harinya aku mencoba menjenguk kakak dirumah sakit jiwa. Air mataku menetes melihat keadaan kakak yang selalu berbicara sendiri, dan tak jarang ia mengamuk dan merasa ketakutan. Aku menjenguk kakak satu minggu sekali, tapi tak ada perubahan yang dari keadaan kakak. Papa benra-benar tak pernah sadar, papa tak pernah mendengar apa yang diinginkan anak-anaknya. Ia hanya berpatokan kepada keinginanya saja, tentang ambisi dan opsesinya. Hari itu aku mencoba mengingatkan kakak tentang keinginanya untuk menjadi atlit, dan aku menceritakan tentang kehebatanya dulu ketika bermain bulutangkis. Tapi kakak hanya diam dan meneteskan air mata saja.
“iya nak, kamu anak papa yang sangat jago bermain batminton. Papa kagum padamu nak.’’ Aku terkejut ternyata papa dan mama ada disampingku, ini pertama kalinya papa menyebut kalau ia bangga kepad kakak.
“ papa, mama” aku tak percaya dengan ucapan papa.
“veny, radit maafkan papa ya, papa sadar selama ini papa salah. Papa tahu mungkin papa sudah terlambat untuk menyadari ini semua. Papa benar-benar minta maaf sama kalian.” Air mata papa jatuh disertai tangan menyentu kak Radit yang hanya diam di tempat duduknya.
  Aku tidak tahu apa yang membuat papa berubah, membuat papa mau memahami keinginan aku dan kakakku sekarang. Meski pun semua sudah sedikit terlambat untuk kak radit, tapi bagiku tak ada yang terlambat didunia ini. Aku benar-benar bahagia dengan keputusan papa yang mengizinkan aku untuk kulia dibidang sastra. Mulai hari itu aku keluar dari kulia dibidang kedoteran dan mencoba untuk kuliah di bidang sastra. Aku bahagia dan aku mulai menulis buku-bukuku, aku mengungkapkan isi hatiku lewat sebuah tulisan. Dan untuk kak Radit ia mulai sedikit berubah, ia sudah mulai mengenal aku, mama dan papa. Kami berjuang bersama untuk kesembuhan kak Radit. Semenjak harinitu papa tak pernah memaksa keinginan dia lagi dan selalu mengikuti keinginan aku dan kak Radit.

Minggu, 30 Desember 2012

harapan butuh kemampuan

Harapan tinggallah harapan jika disertai tindakan, impian tinggalah impian jika tidak selaras dngan kemampuan.