![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFAlaFBdDI589j0-D-dDLoAiX7_u0hkeqZe2pMFnY4CiJBv07dR0eCPiHO2AawrlsRQLTQuanAgUDYjaFSEmYCMksD5Wf2gFIQM6xWRuTknpgsTchNs0BCA7uoRxqKD96Cc9Jhf3Jh0rg/s320/kartun-wisuda.jpg)
Setelah kemarahan terebut papa beranjak dari tempat duduknya dan menuju kamar dalam keadaan marah dengan keinginanku. Aku hanya terdiam dengan keputusan papa, dan mama pun hanya diam mengikuti langkah papa mama pun beranjak dari tempat duduk untuk menuju kamar.
Papa adalah orang yang sangat
keras kepala semua keinginannya harus diikuti anank-anaknya termasuk dalam
urusan sekolah. Mama hanya bisa mengikuti keinginan papa tanpa pernah memprotes
ucapan papa. Setelah kejadian yang dulu terjadi pada kakakku yang juga dipaksa
untuk mengikuti keinginan mereka untuk masuk jurusan kedokteran, yang
mengakibatkan kakak harus masuk rumah sakit jiwa karena kakak tak pernah mau
masuk kedokteran. Papa dana mama sekrang memaksa aku lagi untuk menggantikan
kakakku yang gagal menjadi seorang dokter yang seperti papa inginkan.
Kakakku bernama radit, dia
sekarang masuk rumah sakit jiwa.mungkin penyebnya terlalu setres dengan tekanan
papa yang menginginkan dia untuk masuk kedokteran sedangkan dia ingin sekali
menjadi seorang atlit. Waktu sma ia pernah menjadi juara nasional bulutangkis,
tapi sayang semua keinginanya harus terkubur karena opsesi papa yang terlalu
tinggi. Sekarang beban itu papa
lanjutkan kepada aku. Aku tak tahu harus berbuat apa, aku tahu papa tak akan
pernah mengizinkan ku untuk menjadi sastrawan.
Hampir satu minggu akau tidak
berbicara kepada papa dan mama setelah malam itu. Aku tak pernah keluarkamar
dan makan bersama mereka. Aku benar-benar kecewa dengan keputusan papa yang
selalu berangapan kalau seorang doter itu pasti dihormati orang karena
jabatanya.
Tuk,tuk,tuk, mama mengetuk pintu
kamarku. “veny, ayo nak kita makan sudah satu miinggu kamu tidak makan bersama
mama dan papa. Mama kesepian nak, mama mau ditemani makan dan pergi kepasar
sama kamu. Ayo nak keluar dong, mama udah masak makanan kesukaan kamu tu “.
Mama mencoba membujuk aku. Dirumah hanya ada kami bertiga saja karena papa dan
mama hanya memiliki 2 orang anak saja yaitu aku dan kakakku yang sekarang ada
dirumah sakit jiwa. Aku hanya diam tanpa berbicara apa pun. Mama kemudian
perrgi meninggalkan kamarku dan berjalan menuju ruang makan dan disana ada papa
yang sudah menunggu untuk makan.
'’pa, gimana ni veny tak mau
keluar kamar dan makan bareng kita lagi, dia sepertinya benar-benar marah
dengan papa” mama mencoba berkata kepada papa tentang keadanku dengan tangan
mengambilkan nasi untuk papa. “ sudahlah ma, nanti juga dia tahu kalok niat
kita baik”. papa menjawab dengan tangan mengambil nasi dari tangan mama. “ tapi
pa,”. Mama mencoba berkata lagi, tapi, papa tetap dengan sikapnya yang keras
kepala. “ ma, papa udah bilang semua keputusan papa tidak akan bisa dirubah
lagi, mengerti”. Papa mulai marah. Mama hanya bisa diam karena jika dilanjutkan
papa akan semangkin marah lagi.
Siang itu untuk kesekian kalinya
mama menemui kamarku dan membujuk akau untuk menuruti keinginan papa. Aku tetap
dengan sikapku yang keras kepala pula, karena aku benra-benar tak mau menjadi
seorang dokter. Selai keinginanku menjadi seorang penulis yang handal, aku juga
taku dengan yang namanya darah. Sedangkan seorang dokter akan selalu
berhubungan dengan darah. “nak, papa dan mama melakukan ini semua untuk
kebaikan kamu juga, tak ada orang tua yang mau melihat anaknya sengsara nak.
Veny sayang mama selama ini tak pernah melarang dan memintak kepadamu, untuk
kali ini mama mohon kamuikuti kemauan papamu nak.’’ Mama terus berusaha
membujuk aku, tapi tak satu patah kata pun yang keluar dari mulutku.
Pada akhirnya kesabaran mama pun
hilang. “ baik nak, sekarang terserah kamu mama sudah tak tahu harus bebrbicara
apa lagi sama kamu. Sekarang lakkan apa yang mau kamu lakukan. Tapi satuhal
yang harus kamu tahu jangan pernah menyesal dengan tindakan kamu dan kamu harus
buktika kepada mama dan papa kalau kamu bisa menjadi orang yang sukses”.
Setelah berbicara mama beranjak dari pintu kamarku.
Semenjak hari itu hatiku tak
tenang, aku berfikir. Apa semua keinginanku akan terpenuhi tanpa restu yang
tulus dari orang tua terutama mama. Sedangkan akau tahu restu orang tua itu
adalah restu allah juga. Jika aku nekat untuk melanjutkan keinginanku menjadi
seorang sastra atau penulis aku yakin aku akan mendapatkan kesulitan yang besar
dan ak taku akan mengecewakan kedua orang tuaku nanti. Sepanjang malam aku
merenung apa yang harus aku lakukan dengan ini semua.
Dua hari setelah ucapan mama
keluar dari mulitnya , aku mencoba berbicara pada papa dan mama. Malam itu aku
memutuskan untuk mengikuti kemauan papa dan mama untuk kuliah luar negri dan
ngambil jurusan kedokteran yang seperti papa inginkan. “ma, pa baik lah veny
mau kuliah di luar negri dan ngambil jurusan kedokteran”. Meski pun sulit itu
harus aku lakukan. “beneran nak, baik lah papa akan urusin semua keperluanmu
yanak. Kamu tenang aja pasti semunya beres”. Papa terliahat begitu gembira,
seperti dulu ketika kakak mensetujui keinginanya untuk masuk kedokteran juga.
Meski pun aku tahu kakak tak pernah setuju. Aku hanya terdiam dan menangis
dalam hati dengan keputusan papa.
Akhirnya oroientasi mahasiswa
baru dilaksanakan. Aku resmi menjadi mahasiswa baru di salah satu unversitas
terkenal di singapur. Hari demi hari aku laksanakan menjadi mahasiswa
kedoteran, aku tetap belajar menjadi mahasiswa yang terbaik dikampus itu. Aku
ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Satu semester telah berlalu, aku seperti
seorang robot yang tanpa tujuan hidup yang hanya berusaha membahagiakan orang
lain tanpa memperhatikan kebahgianku sendiri.
“Veny, hari ini ada acara seminar tu”. ben mahasiswa baru juga
sahabtku yang aku kenal waktu ospek dulu. Dia orangnya baik dan dewasa banget,
dia orang satu-satunya yang pertama kali akau kenal di kampus.” seminar apan
ben.?” Aku penasaran dengan info yang diberikan ben kepadaku.
“ seminar kebahagiaan hati, loe
mau ikut gak.?”
“hmmm,, ya udah gue ikut deh,
lagian gue juga gak ada acara hari ini. Oya kapan acaranya”
“sekarng juga yuk”. Ben menarik tanganku untuk menuju seminar itu.
“sekarng juga yuk”. Ben menarik tanganku untuk menuju seminar itu.
Seminar yang bertemakan
kebahagian hati itu berjalan sekitar satu jam lebih, seminar yang diadakan
kakak tingkatan kami itu sangat menarik sekali. Ada beberapa setetmen
narasumber yang teringat dalam benak saya, yang memebuat saya berfikir tentang
kebahagiaan yang sesungguhnya.
“veny, loe kenapa. Kok melamun,
ada yang loe fikirkan ya..?” Ben bertanya kepadaku setelah acara seminar itu
selesai.
“Ben, loe masih inget gak yang
dikatakan pak Herni tadik.” Aku mencoba mengingatkan Ben tentang kata-kata
narasumber seminar.
“Kata-kata yang mana ven,.?’’
Sepertinya Ben belum tahu kata-kata yang mana yang aku maksut.
“kalau kebahagiaan yang
sesungguhnya itu bukan dinilai dari uang, tapi, dari rasa bersyukur akan apa
yang kita miliki hari ini.” Aku mencoba menjelaskan kepada Ben.
“Ben,gue mau cerita sama loe.”
Aku ingin bercerita dengan Ben tentang keinginanku untuk masuk sastra dan
menjadi seorang penulis yang handal.
“cerita aja gue siap denger kok.”
Aku mulai menceritakan kejadian
yang terjadi selama ini. Kejadian yang pertama sehingga aku masuk jurusan
kedokteran. Dan semua konflik yang terjadi di keluarga gue bahkan tentang
kakakku. Ben begitu sabar mendengar ceritaku, dia benar-benar sahabat yang
baik.
“jadi menurut loe gue harus
gimana Ben..?” setelah selesai bercerita panjang lebar aku bertanya kepada Ben
tentang apa yang harus kulakukan.
“ menurut gue lebih baik loe
ngomong dengan kedua orang tua loe, tentang keinginana loe. Ngomong dengan
baik-baik dari hati kehati ven, kasih pengertian kepada mereka akan keinginan
loe. Merekakan orang tua loe pasti mereka bisa mengerti apa keinginan loe yang
sebenarnya.” Ben mencoba memberi nasehat ke aku tentang apa yang harusku
lakukan.
Setelah mendengar nasehat dari
Ben aku mulai berfikir tentang perkataan Ben tersebut. Dan aku berencana untuk
berbicara pada papa dan mama. Besok harinya aku mencoba bercerita pada papa dan
mama diruang keluarga seperti biasa.
“pa,ma veny mau cerita.” Aku
mencoba memulai pembicaraan.
‘’cerita apa ven, oya ven. Papa
senang banget kamu mendapatkan nilai yang baik, papa yakin semua rumah sakit
terbaik di jakarta akan mencarimu untuk bekerja di tempat mereka. Dan kamu
pasti akan dihormati orang lain, papa dan mama juga dong.” Papa mulai lagi dengan
opsesinya.
“pa, aku mau berhenti kuliah di
bidang kedokteran, aku mau kuliah disastra. Aku gak betah pa, itu bukan
duniaku. Aku kuliah hanya mendapkan nilai yang bagus, tapi aku gak tau apa
tujuan dan peroses yang aku dapatkan dari kuliah tersebut.’’ Aku mulai
menceritakan keinginanku.
“Veny papa udah bilang apa yang
kamu harapkan menjadi seorang sastra, kamu pasti tidak akan bahagia ven.
Lupakan mimipimu itu jadi lah seorang dokter ven, percaya sama papa kamu pasti
bahagia.” Papa tetap dengan ambisinya.
‘’pa, ma, kebahagian itu bukan
dinilai dari uang, dari jabatan dan seberapa banyak orang menghormati kita.
Atapi kebahagiaan itu akan lebih sempurna karena rasa syukur akan nikmat yang
tuhan berikan kepada kita. Tak semua kebahagiaan itu dinilai karena harta pa,
aku selama ini tidak pernah bahagia dengan apa yang aku lakukan di bidang
kedokteran. Papa harus tahu itu pa, coba mengerti anak papa. Pa, papa lihat
kakak, sekarang apa yang terjadi kepada dia di gila pa. Semua itu karena papa,
kakak gila karena ambisi papa. Kenapa pa harus anak papa yang menjadi korbaan
ambisi papa yang ingin dihormati orang.” Aku tak bisa lagi menahan kata-kataku,
air mata mengiringi ucapanku.
Setelah kejadian malam itu aku,
esok harinya aku mencoba menjenguk kakak dirumah sakit jiwa. Air mataku menetes
melihat keadaan kakak yang selalu berbicara sendiri, dan tak jarang ia mengamuk
dan merasa ketakutan. Aku menjenguk kakak satu minggu sekali, tapi tak ada
perubahan yang dari keadaan kakak. Papa benra-benar tak pernah sadar, papa tak
pernah mendengar apa yang diinginkan anak-anaknya. Ia hanya berpatokan kepada
keinginanya saja, tentang ambisi dan opsesinya. Hari itu aku mencoba
mengingatkan kakak tentang keinginanya untuk menjadi atlit, dan aku
menceritakan tentang kehebatanya dulu ketika bermain bulutangkis. Tapi kakak
hanya diam dan meneteskan air mata saja.
“iya nak, kamu anak papa yang
sangat jago bermain batminton. Papa kagum padamu nak.’’ Aku terkejut ternyata
papa dan mama ada disampingku, ini pertama kalinya papa menyebut kalau ia
bangga kepad kakak.
“ papa, mama” aku tak percaya
dengan ucapan papa.
“veny, radit maafkan papa ya,
papa sadar selama ini papa salah. Papa tahu mungkin papa sudah terlambat untuk
menyadari ini semua. Papa benar-benar minta maaf sama kalian.” Air mata papa
jatuh disertai tangan menyentu kak Radit yang hanya diam di tempat duduknya.
Aku tidak tahu apa yang membuat
papa berubah, membuat papa mau memahami keinginan aku dan kakakku sekarang.
Meski pun semua sudah sedikit terlambat untuk kak radit, tapi bagiku tak ada
yang terlambat didunia ini. Aku benar-benar bahagia dengan keputusan papa yang
mengizinkan aku untuk kulia dibidang sastra. Mulai hari itu aku keluar dari
kulia dibidang kedoteran dan mencoba untuk kuliah di bidang sastra. Aku bahagia
dan aku mulai menulis buku-bukuku, aku mengungkapkan isi hatiku lewat sebuah
tulisan. Dan untuk kak Radit ia mulai sedikit berubah, ia sudah mulai mengenal
aku, mama dan papa. Kami berjuang bersama untuk kesembuhan kak Radit. Semenjak
harinitu papa tak pernah memaksa keinginan dia lagi dan selalu mengikuti
keinginan aku dan kak Radit.